Dari flat white ke scatter hitam
Jadi gini. Dulu anak Jaksel itu sibuk ngomongin oat milk, ginjal kiri, dan band Korea yang lagunya bikin nangis meski gak ngerti artinya. Sekarang? Obrolan di kafe berubah. Ada satu kata yang mulai merayap pelan ke telinga: Mahjong.
Bukan yang dimainkan nenek-nenek di TVB. Ini Mahjong Ways 2. Serius. Angkatan 90an mungkin bakal nyengir sinis, mikir ini cuma tren random anak muda. Tapi coba duduk sebentar di kafe mana pun di Blok M atau Kemang. Pasti ada minimal satu meja yang lagi bisik-bisik tentang scatter hitam.
“Eh tadi scatter-nya nongol di putaran ke-42, gila gak?”
Kalimat itu keluar dari mulut cowok berkaos oversized, sambil nenteng totebag. Cewek di sebelahnya manggut-manggut, seolah scatter itu konsep eksistensial.
Scatter hitam, katanya, bikin jantung jedag-jedug.
Ketika game jadi lifestyle
Tren ini gak berhenti di kafe. Scroll Reels atau TikTok dan kamu akan nemu video monokrom, seringkali diiringi lagu mellow atau remix techno ala 2AM insomnia. Visualnya? Potongan permainan Mahjong Ways 2. Tangan menggulir layar dengan tempo lambat. Momen scatter muncul diperlambat, diberi efek glitch. Kadang disisipin teks kayak: “Scatter itu kayak mantan, kadang muncul waktu udah gak ditunggu.”
Gaya hidup Jaksel tuh gitu. Ambil hal paling acak, bumbui dengan estetika, lalu anggap itu identitas. Mahjong Ways 2 bukan sekadar permainan. Dia jadi lambang. Semacam penanda bahwa kamu aware. Kamu cukup sadar akan tren tapi tetap ironis. Kamu bisa bercanda tentang kecanduan sambil tetap memainkannya diam-diam jam dua pagi.
Dan seperti biasa, orang tua gak paham.
Scatter hitam dan teori konspirasi ringan
Ada yang bilang scatter hitam itu semacam kode semesta. Kalau dia muncul, hidup bakal berubah. Ini bukan lelucon. Banyak yang percaya pola. Ada yang nunggu malam Jumat. Ada yang rutin main tiap tanggal ganjil. Ada juga yang percaya kalau scatter keluar dua kali dalam sehari, itu tanda buat ambil keputusan besar. Putus. Resign. Atau ngaku ke gebetan.
Kamu boleh tertawa, tapi semua kepercayaan besar di dunia juga berawal dari sesuatu yang absurd.
Beberapa akun TikTok bahkan bikin konten decoding scatter. Kayak decoding pesan alien, cuma ini lebih gelisah. Mereka bahas warna, posisi, urutan kemunculan simbol. Semua dibahas sambil setengah yakin, setengah satire.
Yang lucu, kadang penontonnya lebih serius dari pembuatnya.
Yang muda bermain, yang tua mempertanyakan
Di grup WA keluarga, muncul tanya
"Ini Mahjong yang suka disebut anak kamu itu apaan sih?"
Ibu-ibu bingung. Bapak-bapak lebih cuek. Tapi semua orang di atas 40 tahun punya satu reaksi serupa: curiga.
Buat mereka, ini permainan tanpa manfaat. Buang waktu. Energinya mirip kayak waktu orang tua nemu anaknya dengerin musik Jepang pakai earphone. Gak ngerti tapi langsung nilai.
“Main ginian bikin bodoh,” kata salah satu ayah di video pendek viral, “mending baca buku.”
Masalahnya, generasi sekarang udah terlalu lelah buat baca buku. Bukan karena malas. Tapi karena dunia terlalu cepat. Terlalu banyak notifikasi. Terlalu banyak tekanan yang tak terdefinisikan. Maka muncul kebutuhan untuk kontrol kecil. Sekecil menekan tombol putar dan berharap scatter hitam muncul di layar.
Pseudo-ritual dan kenyamanan semu
Ada yang punya rutinitas. Sikat gigi, nyalain diffuser, rebahan, lalu main. Biasanya sendiri. Kadang ditemani lagu. Sering kali dalam diam total. Ada kenikmatan di situ. Dalam pengulangan. Dalam menunggu sesuatu yang tak pasti. Dalam berharap pada algoritma yang tak mengenal kasih.
Dan saat scatter hitam muncul... ya, rasanya campur aduk. Antara puas, panik, dan entah kenapa ingin peluk seseorang.
Buat sebagian anak muda, itu jadi semacam meditasi. Fokus total. Pikiran yang biasanya berantakan pelan-pelan dikonsentrasikan ke satu titik. Scatter. Satu harapan kecil dari layar datar 6 inci.
Apakah ini sehat? Gak ada yang tahu. Tapi siapa sih yang bisa definisikan sehat di zaman sekarang?
Antara candu dan komunitas
Ironisnya, dari game yang sifatnya individual ini lahir komunitas. Grup rahasia di Discord. Grup obrolan di Telegram. Semuanya membahas hal yang sama. Kapan scatter keluar. Apa artinya kalau muncul tiga kali dalam satu sesi. Apakah warna latar belakang mempengaruhi hasil.
Kadang konyol. Kadang terdengar seperti kultus ringan.
Tapi juga hangat. Ada teman ngobrol. Ada tempat untuk marah kalau scatter datang tapi hasilnya zonk. Ada yang bilang, “Gue gak peduli sama hasilnya, yang penting ada yang ngerti rasanya.”
Dan itu gak bisa diremehkan. Karena di Jakarta, kota yang penuh orang tapi sepi rasa, menemukan koneksi sekecil itu bisa jadi penawar.
Akhir yang bukan jawaban
Mahjong Ways 2 mungkin cuma tren sesaat. Mungkin juga bakal jadi budaya kecil yang menempel lama. Seperti kopi susu kekinian atau totebag dengan logo absurd. Tapi di balik semua itu, dia sedang bicara sesuatu yang lebih dalam.
Tentang generasi yang terlalu capek untuk marah tapi juga belum siap untuk menyerah.
Tentang kesenangan kecil yang diciptakan sendiri, karena dunia luar terlalu rumit.
Tentang satu titik hitam di layar bernama scatter, yang jadi alasan untuk terus membuka aplikasi lagi dan lagi.
Kadang bukan kemenangan yang dicari. Tapi rasa familiar yang muncul dari warna-warna yang berulang. Dari bunyi yang itu-itu aja. Dari perasaan bahwa di tengah semua kekacauan, ada satu hal yang tetap bisa dikendalikan.
Atau setidaknya, bisa ditunggu.